[Cerpen] Sepasang Merpati yang Hilang

thumbnail
Sepasang Merpati yang Hilang
Karangan iezel Lee


Asap rokok mengepul dan perlahan menyebar ke seluruh sudut mikrobus. Meski mikrobus telah sesak penumpang, pemuda berseragam SMK tetap saja meniupkan asap rokoknya. Pemuda tersebut duduk di dekat sopir, sekitar lima orang. Untung saja hanya satu orang yang merokok. Jika semua pemuda itu merokok mungkin mikrobus akan nampak seperti toko liquid vapor keliling, karena penuh asap. Penumpang mikrobus itu seakan terbiasa dengan asap rokok, hanya beberapa ibu-ibu dan tentu saja Adriana yang merasa terganggu dengan asap rokok. Adriana duduk di dekat pintu tengah, sehingga ia merasa cukup lega karena udara dari luar dapat terhirup masuk ke paru-parunya. Meski sebenarnya udara dari luar justru berdebu, ia anggap itu lebih menyegarkan daripada udara di dalam mikrobus yang sesak dan berasap. Adriana menatap wajah suami yang sangat ia cintai itu, tak ada lelaki lain yang begitu ia cintai selain suaminya itu. Kepala Andrianto tertunduk, sambil berdekap tangan dan terlihat kelelahan.

Perjalanan Adriana ke Banjarnegara memang tidak lama, hanya satu setengah jam saja. Namun suaminya memang sedang lelah, karena semalaman suaminya menghadiri rapat warga. Wajah suaminya ketika tidur agak berbeda dengan saat terjaga, begitu lugu dan kekanakan. Dalam hati, Adriana berharap keresahan yang mengganggu mereka di Purwokerto  tidak mengikuti hingga ke Banjarnegara.

Mikrobus itu, berkali-kali membunyikan klaksonnya lalu berdecit. Dengan bergegas kondektur menaikkan penumpang baru, padahal kursi telah penuh dan yang berdiri pun sudah saling bersenggolan. Tiba-tiba mikrobus berdecit lagi di pertigaan sokaraja, Andrianto berbicara kepada istrinya.
“Lihatlah burung itu”, kata Andrianto sambil menunjuk burung merpati yang bertengger di genteng bangunan tua.
Adriana mencoba mencari yang sedang dimaksud suaminya, dan benar saja. Terlihat sepasang burung sedang bertengger di atas sana. Adriana jadi teringat tentang sepasang merpati yang mereka pelihara di Purwokerto, yang menghilang ketika mereka akan berangkat.
“Aku jadi teringat merpati kita mas”, Adriana memanggil suaminya dengan panggilan mas meskipun sebenarnya ia lebih tua satu tahun.
“Merpati itu pergi entah kemana, sudahlah kita relakan saja”

Sebenarnya yang Adriana khawatirkan adalah keselamatan dari merpati, apakah setelah mereka pergi merpati tersebut dapat makanan yang cukup?
Setelah lampu hijau menyala, mikrobus bergerak lagi. Kali ini penumpang telah sesak dan sepertinya mikrobus ini tak mampu mengangkut penumpang lagi. Adriana melihat para penumpang yang berdiri berdesakan, pandangannya kemudian tertuju ke wajah ketakutan dari gadis SMK yang pantatnya tersenggol senggol oleh pria dibelakangnya. Pandangannya beralih ke wajah si pria yang baginya terlihat seperti anjing kelaparan. Dengan umpatan kasar ia gumamkan ketika memandang pria itu. Kemudian ia menatap suaminya, tak disangkanya bahwa suaminya juga sedang memperhatikan gadis itu. Dengan isyarat yang mudah dimengerti, Andrianto mempersilakan gadis itu untuk menempati tempat duduk yang ditempatinya. Namun tak disangka, justru gadis itu semakin terlihat ketakutan dan tidak berani menoleh lagi ke arahnya. Lalu gadis itu minta diturunkan,
“kiri pak”, ucapnya dengan tergesa-gesa.

Mikrobus berdecit lagi, disusul dengan turunnya gadis tersebut. Kelima pemuda yang duduk di dekat supir pun ikut turun. Andrianto menjadi salah tingkah. Ia kemudian memandang istrinya, dan mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Nanti kita ngontrak saja dulu, kalau betah baru kita beli rumah disana. Kalau ada uangnya tapi.”
“Iya mas, aku ngikut mas aja”
Angin terdengar melolong ketika mikrobus melaju semakin kencang, Adriana dan suaminya terdiam.

***
Di Purwokerto, sepasang burung merpati terlihat menunggu seseorang, di samping rumah yang baru seminggu ditinggal pergi sebagian penghuninya. Seorang wanita memberinya makan, ia terlihat cukup tua. Ditunjukkan dari keriput di dekat matanya. Matanya yang sayu, serta bibirnya yang terlihat seperti mawar layu, menambah kesan bahwa ia mungkin telah berumur enam puluhan. Dengan lemah lembut ia elus kepala merpati yang sedang makan bij jagung darinya. Kulit tangannya yang keriput tidak membuat takut merpati tersebut. Malah terkadang, jika wanita tua itu lewat ke samping rumah, merpati itu terbang untuk hinggap di lengan tangannya.

“Sungguh aku tak tahu kalau akhirnya seperti ini, maafkan aku”, wanita itu berbicara kepada merpati.
Semenjak suaminya meninggal ia jadi tertutup dengan orang lain. Sangat sedikit berbicara, kecuali kepada merpati itu. Ia menghabiskan berjam jam untuk berbicara dengan merpati itu. Para tetangga terkadang menganggap kalau dia depresi, terlebih lagi sekarang anaknya memilih tinggal di Banjarnegara. Ia semakin terlihat kurang waras. Kadang terlihat juga ia menangis saat memberi makan kepada burung merpati itu.

***
Di Banjarnegara, sepasang suami istri menjalani kehidupan yang baru. Mereka tidak memiliki anak. Adriana yang semasa SMA pernah diperkosa oleh seseorang di diskotik Baturraden, membuatnya tak bisa hamil lagi. Katanya ia diberi obat di minumannya. Andrianto dengan ketulusan cintanya menerima Adriana yang sebegitu adanya.
Sejak kecil mereka sering bersama karena rumah mereka dekat. Meskipun usianya berbeda satu tahun. Hingga menginjak remaja, mereka masih sering bersama, ngobrol di teras rumah, dan rasa tertarik di antara keduanya muncul, meski dulu tak resmi jadian. Hingga baru setelah kejadian Adriana diperkosa, Andrianto menunjukkan betapa pedulinya ia kepada Adriana. Andrianto yang selalu menemaninya, menyemangatinya, dan melindunginya. Hingga suatu ketika Andrianto memutuskan untuk menikahi Adriana.

“Bu, aku ingin menikahi Adriana”
“Jangan! Seumur hidupku aku tak akan merestui permintaanmu! Tidak bisakah kau cari perempuan lain saja!?”
“Aku sungguh mencintai Adriana bu, tulus. Tidak peduli Adriana sudah tidak perawan, atau mandul, atau bagaimanapun. Tolong ibu restui kami, karena aku memaksa”
“Ibu tak ingin mendengar permintaan itu lagi, ibu akan siapkan perempuan lain untukmu, nanti biar ibu yang bilang ke Adriana.”
“Tak usah, aku tetap akan menikahi Adriana, aku sungguh mencintai dia, hanya kematianlah yang bisa memisahkan kita. Bahkan ibupun tidak bisa!”
“Kau tidak mau menuruti ibu, ibu tak akan menganggap Adriana sebagai menantu!”
“Baiklah meskipun tanpa restu ibu. Toh bapak sudah merestui.”

Mereka berdua akhirnya menikah. Adriana sungguh bahagia mencintai Andrianto yang juga sangat mencintainya. Hingga saat ini cintanya tidak pernah berkurang kepada Andrianto. Mereka berdua menjalani kehidupan pernikahan yang bahagia.
Namun suatu ketika kebahagiaan mereka agak terusik ketika Adriana menanyakan tentang mertuanya yang sendirian di Purwokerto.
“Mas, apa mas tidak kasihan dengan ibu?”
“Kenapa kau menanyakan hal seperti itu? Kita kesini karena aku membenci ibu”
“Bapakmu bunuh diri itu kemauannya sendiri, bapakmu membenci ibumu juga karena masalah mereka. Mas jangan ikut menghakimi ibu, aku dengar ibumu menjadi sangat depresi semenjak bapakmu meninggal. Kenapa malah mas tidak menemani ibu di saat-saat tersulit?”
“Kau tahu dik, kejujuran adalah hal yang harus ada dalam suatu hubungan. Tapi ibuku lebih memilih tidak jujur. Itu yang membuat saya jadi benci.”
“Sudahlah mas, lebih baik kita maafkan ibu. Lagipula sekarang kan ibu sudah tua, kasihan dia jika disaat-saat tua begini malah menderita.”
Andrianto kemudian tertawa kecil, seakan puas melihat ibunya menderita. Namun air mata dipelupuk matanya tidak dapat berbohong. Bahwa ia juga merasakan penderitaan ibunya, yang ditinggal suami dan anaknya.
“Dik, kalau kamu tahu tentang ibuku kamu juga pasti akan membencinya”
“Aku tahu, bapakmu bunuh diri juga karena tahu ibumu selingkuh kan?”
“Iya, kenapa ia tidak berterus terang saja dari dulu. Aku sangat membenci hal itu”
“Mungkin ibumu tak mau kehilangan cinta bapakmu, atau dia takut bapakmu akan marah besar atau lebih baik kau coba saja tanyakan padanya mas”

***
Purwokerto dihebohkan karena adanya mayat yang tergantung di pohon mangga di samping rumah. Mayat itu adalah seorang wanita tua yang biasanya jongkok untuk memberi makan merpati. Tetangganya berteriak histeris begitu tahu wanita yang kemarin-kemarin sering dilihatnya, telah mati bunuh diri. Ia jadi linglung, diajak bicara orang tidak nyambung. Kadang bergumam tidak jelas. Memang dari kemarin ia sudah terlihat gelisah, namun hari ini ketika matinya wanita tua itu, ia malah menjadi semakin parah.

Para warga berusaha menghubungi anggota keluarga dari mayat tersebut, termasuk juga menghubungi Andrianto. Batin Andrianto begitu terpukul ketika mengetahui ibunya bunuh diri, ia menyesal tidak menemani ibunya, dan meninggalkan ibunya hanya karena kebenciannya. Sebagai penawar sesal, Andrianto bersama istrinya menuju Purwokerto untuk melihat jasad ibunya.
Begitu Andrianto dan istrinya tiba di rumah duka, tiba tiba tetangga yang keliatan linglung tadi berteriak memanggil mereka,

“Andrianto menantuku, Adriana anakku, oh malangnya kalian, sungguh malang, oh malangnya bapakmu Andrianto, oh malangnya diriku, sungguh malang manusia ini”
“Ibu? kenapa bicara seperti itu?”, tanya Adriana.
“Kalian tidak seharusnya mengalami hal ini, tapi hal ini bisa membuatku gila, aku tidak dapat merahasiakannya nak”
Jantung Adriana menjadi berdegup tidak karuan. Namun ia mencoba memberanikan diri untuk mendengar ibunya bercerita. Begitupun Andrianto, yang berdiri disamping istrinya, telah siap untuk mendengar cerita.
“Nak, kau tahu? Almarhum sering berbicara sendiri dengan merpati. Lalu kemarin ibu mencoba untuk mendengar apa yang almarhum katakan. Suatu hal yang memukul batin ibu, ia berbicara bahwa ia menyesal selingkuh dengan almarhum bapakmu nak. Ternyata pria yang berselingkuh dengan almarhum adalah almarhum bapakmu. Almarhum juga mengatakan telah mendapatkan anak karena perselingkuhan itu, kalian saudara sebapak.”, lalu air mata mengalir deras di pipi ibunya Adriana.

Cerita dari ibunya itu membuat Adriana seakan mendengar petir di siang bolong. Pandangannya menjadi redup, lalu tak sadarkan diri. Sedangkan Andrianto melihat dunia seakan sunyi, ia tak mendengar apa-apa lagi selain kata terakhir dari mertuanya, “kalian saudara sebapak” yang terus-menerus terngiang di kepala.
Andrianto menyesalkan ibunya yang menyembunyikan rahasia penting itu entah karena apa, atau ia justru mengutuk kenyataan yang ada, kenyataan rahasia yang kini malah terungkap. Semua perasaannya bercampur tidak jelas.
Semua telah terjadi, apa yang ada adalah kenyataannya. Setelah proses pemakaman selesai, Andrianto dan Adriana memutuskan untuk menginap semalam di Purwokerto. Di rumah duka, diadakan acara doa untuk kematian almarhum. Setelah acara doa selesai, mereka berdua beranjak ke tempat tidur. Namun mereka berdua tidak berkata satu sama lain, tatapan di antara mereka berdua kosong dan muram. Kandang merpati yang di samping rumah juga kosong.
Keesokan harinya, matahari terbit seperti biasa. Menyinari kota Purwokerto seperti di pagi sebelumnya. Andriyanto memulai pembicaraan dengan istrinya yang juga saudara sebapaknya.
“Aku tidak percaya bahwa semua ini adalah nyata, bahwa aku mencintai kakakku sendiri. Namun semua ini kehendak Tuhan. Bagiku kau adalah cinta sejatiku. Seperti kataku pada almarhum ibuku, aku akan mengatakan padamu juga, hanya kematianlah yang dapat memisahkan kita.”
Adriani mengalirkan air matanya dengan begitu deras setelah mendengar ucapan Andriyanto, ia tak menjawabnya dengan kata-kata apapun. Lalu perlahan ia mendekat ke Andriyanto. Merekapun saling berpelukan.
Serpong, 03 Agustus 17

Ini tulisan waktu masih latihan..sekarang lagi iseng iseng lihat folder di laptop, tiba tiba liat ini mending tek taruh blog biar ga ilang..buat kenangan
Share:

[Cerpen] Kacamata Hitam

thumbnail
Kacamata Hitam
karangan : iezel Lee

   Tidak ada benda yang dibuat tanpa tujuan tertentu, misalnya saja sepatu. Banyak kisah yang bisa kita dengar bagaimana sepatu muncul. Ada yang menceritakan bahwa sepatu dibuat sejak zaman es. Sepatu tersebut dibuat dari bahan kulit hewan buruan. Ya tentu saja agar melindungi diri dari dinginnya es yang setiap hari diinjak. Lalu ada juga cerita bahwa sepatu ada sejak peradaban mesir kuno, sepatu dibuat dengan seni dan berhiaskan gambar yang indah. Saat itu sepatu digunakan untuk melindungi kaki dari panasnya gurun sahara, juga untuk menunjukkan status sosialnya. Karena hanya raja dan bangsawanlah yang diperbolehkan mengenakan sepatu. Kini sepatu menjadi benda umum, biasa saja, dan semua orang boleh memakainya.

Seperti Sarjo yang kadang memakai sepatu ketika berguru di negeri awan. Murid-murid lainnya melirik kaki Sarjo yang memakai sepatu itu. Begitupun teman akrabnya, Budi. Sarjo menjadi risih karena menjadi pusat perhatian. Obrolan pun dilakukan untuk mengurangi kerisihannya.

"Halo bud, ada apa? Kenapa kamu melirik ke sini terus?"
"mmmm.. Jo, kenapa kamu memakai sepatu?"
"sandal punya saya sedang dipakai bapak untuk menghadiri rapat warga. Jadinya saya memakai sepatu".
"kasihan, kakimu pasti pengap."
"tidak apalah, toh tidak setiap hari juga."

Sebenarnya Budi merasa aneh melihat Sarjo memakai sepatu. Maklum, ketika berguru di negeri awan ini mereka hanya duduk di dalam ruangan. Untuk apa Sarjo memakai sepatu? Namun di samping itu Budi juga merasa kasihan.

Sarjo dan Budi menjadi cukup akrab karena mereka seringkali mengomentari satu sama lain. Dari ujung rambut hingga ujung kaki. Pernah Sarjo mengomentari Budi yang memakai dasi.

"Bud, kau memakai apa di lehermu?"
"dasi, kenapa?"
"sangat buruk, kau seperti anjing yang diikat pemiliknya."
"Dasar kau, aku pakai ini untuk mengelap keringatku. Lagipula apalagi gunanya dasi ini jika ku biarkan tergantung di lemari."
"taruh saja di dalam saku celanamu."
"Biarlah seperti ini saja. Aku lebih suka menaruh dasi di leher. Lebih praktis"
"Terserah kau saja."

Tiga tahun Sarjo berguru di perguruan negeri awan, tiba saatnya Sarjo untuk meninggalkan perguruan di negeri awan tersebut, karena telah semua ilmu di perguruan negeri awan ia dapatkan. Oleh gurunya yang buta, Sarjo disarankan untuk melanjutkan berguru di Negeri Angan-angan. Sarjo adalah murid istimewa. Karena di negeri awan, ia menunjukkan kecerdasannya dalam berpikir. Setiap apa yang diucapkan oleh gurunya, ia dapat mengucapkan kembali. Sangat jarang murid seperti Sarjo. Kebanyakan murid disini hanya memahami maksud dari sang guru dan tak pernah mencoba menghapalkan ucapan gurunya. Gurunya menaruh harapan besar kepada Sarjo untuk dapat menjadi penerusnya.

***
Sarjo pun memulai perjalanannya ke Negeri Angan-angan. Ketika Sarjo sampai di negeri Angan-angan, ia mencari tempat dimana orang-orang berguru. Setelah bertanya ke gelandangan di jalan, ia diberi tau bahwa tempat berguru ada di dekat gunung batu. Lalu gelandangan itu menunjuk ke arah gunung batu di negeri itu dan berkata

"Kau lihat gunung batu itu? Kau perlu melaluinya, di baliknya akan kau temukan tempat untuk berguru. Namun kau perlu tahu, perjalanan untuk kesana akan cukup sulit. Satu-satunya jalan kau perlu mendaki gunung batu itu. Namun ingat, jangan melihat ke bawah ketika mendaki. Karena kalau melihat ke bawah, puncak gunung batu itu menjadi semakin tinggi."
"Terimakasih kau telah memberitahuku. Aku akan berusaha semampuku untuk ke tempat itu."
Di perjalanan ia melihat sedang ada orasi dari penguasa negeri Angan-angan yang buta. Sangat ramai orang yang mengerumuni acara itu. Disana dibagikan pula sembako. Sarjo tidak tahu apakah acara itu ramai karena penguasa yang bijaksana, ataukah karena sembako gratis. Entahlah. Sarjo kembali melanjutkan perjalanannya, di pertigaan jalan ia bertemu dengan pemuda lain yang berjalan ke arah gunung batu.
"Hey kau, kau mau kesana juga?"
"Tentu saja, aku akan kesana. Orang-orang yang telah berguru dari negeri Angan-angan menjadi orang penting. Aku ingin menjadi orang penting. Penguasa negeri misalnya"
"Wah, cita-citamu cukup besar. Kalau aku ingin kesana karena disarankan oleh guruku. Aku ingin meneruskan perjuangan guruku, menjadi guru di negeriku."
"wah, cita-citamu juga bagus. Ayo kita berangkat kesana bersama-sama."
“Ayo, Oh iya, siapa namamu?"
"Panggil saja Parjo. Kalau kamu?"
"Aku Sarjo."

Begitulah awal pertemuan dua calon murid negeri Angan-angan, dan menjadi titik awal persahabatan mereka nantinya.
Mereka berdua mendaki gunung batu bersama, melalui rintangan terjal dan celah-celah batuan yang dalam. Namun berkat saling mendukung dan saling membantu mereka berdua dapat mencapai puncak gunung batu itu dengan selamat.
Dari atas gunung batu terlihat pemandangan yang luar biasa, bangunan megah seperti istana. Mereka semakin bersemangat untuk berguru di sana. Dengan hati-hati mereka melanjutkan perjalanan. Hingga sampailah ke depan gerbang perguruan Angan-angan.
Gerbang perguruan Angan-angan dijaga oleh dua orang berkacamata hitam.
Ketika mereka akan masuk, dua penjaga tadi menahannya dan mengatakan.

"Pakailah ini sebelum kau masuk."
“Baiklah.”
Parjo mengambil kacamata hitam tersebut dan memakainya, Parjo pun dipersilakan masuk. Berbeda dengan Sarjo yang tidak langsung memakainya, ia malah bertanya kepada penjaga.
"Kenapa aku harus memakai kacamata hitam ini?", dengan heran Sarjo bertanya.
Dua penjaga tadi malah tertawa, namun mereka sebenarnya juga tidak tahu.
Salah satu penjaga tadi mencoba menjawab.
"Semua orang yang masuk ke tempat berguru ini harus menggunakan kacamata hitam. Kenapa kamu bertanya hal yang aneh seperti itu? Dari dulu semua orang pakai kacamata hitam untuk masuk. Dengan memakai kacamata hitam, itu menunjukkan kalau kita orang yang sedang berguru disini. Lagipula bukankah keren memakai kacamata hitam."
Sarjo merasa jawaban mereka tidak memuaskan, namun akhirnya Sarjo mengambil kacamata hitam yang diberikan penjaga dan memakainya.
"Nah seperti itu, pakai saja. Lain kali tidak perlu banyak tanya."

Awalnya Sarjo merasa risih memakai kacamata hitam itu. Namun lambat laun ia menjadi terbiasa dan bahkan tidak ia pikirkan lagi kalau ia memakai kacamata hitam.

Dengan giat ia menerima ajaran-ajaran dari gurunya, tugas-tugas ia kerjakan. Seperti mengukir batu membuat tulisan dari ajaran-ajaran yang diberikan oleh sang guru. Kemudian jika telah selesai mengukir, batu tersebut dilemparkan ke belakang gedung perguruan. Entah kenapa guru di sini menugaskan hal semacam itu. Padahal telah bertumpuk-tumpuk batu di belakang perguruan itu dan membentuk bukit batu. Hal itu membuat perguruan ini seperti terkurung diantara batu batu, yaitu gunung batu yang berada di depan perguruan dan bukit batu tugas dibelakangnya.

Suatu hari Sarjo merasa jenuh, dan mengajak Parjo untuk beristirahat di kebun ilalang yang ada di samping kanan perguruan. Namun Parjo yang memiliki cita-cita besar itu tidak ingin beristirahat, ia tetap melanjutkan menulis ajaran-ajaran gurunya di batu.

Perguruan di negeri Angan-angan sebenarnya tidak jauh berbeda dengan perguruannya dulu, perguruan di negeri awan. Hanya saja bahasa dan bahan pembicaraan orang-orang disini lebih tinggi. Seperti membahas korupsi yang dilakukan penguasa, kadang membahas penguasa tega mengabaikan penderitaan masyarakat, membahas beberapa oknum yang bertindak sewenang-wenang, kadang juga membahas perubahan masyarakat. Dulu di perguruan negeri awan, paling paling hanya membahas sejarah para orang penting di negeri.

Lama kelamaan Sarjo menyadari, apa yang sebenarnya dilakukan orang-orang di Perguruan Angan-angan ini hanyalah berangan-angan. Kakak angkatannya yang dianggap berhasil, ya karena dapat membuat penemuan berkat pemikiran angan-angannya.

Misalnya saja membuat "dasi berkancing" atau membuat “arloji penjinak anjing". Meskipun masyarakat tidak ada yang membutuhkannya, perguruan di negeri Angan-angan bangga dengan penemuannya. Ya meski mereka sadar bahwa beberapa hasil penemuannya terlalu dibesar-besarkan. Sarjo pun ikut bangga karena angan-angan kakak kelasnya itu.
Kegiatan yang dilakukan oleh murid perguruan di negeri Angan-angan juga mudah ditebak, ada yang nongkrong di warung kopi. Menurut mereka, nongkrong di warung kopi adalah hal penting agar menjadi orang gaul, keren, dan populer. Tetapi Sarjo tidak tertarik untuk nongkrong di warung kopi, mahal. Alhasil Sarjo menjadi tidak populer, namun hal itu tidak masalah untuk Sarjo, karena ia memiliki teman yang masih mau diajaknya bicara, Parjo.

Ada juga yang sibuk membicarakan kesejahteraan murid sekelas. Membuat kegiatan ulang tahun kelas. Sarjo kadang heran, sepenting apa ulang tahun hingga semua orang diwajibkan iuran? Lalu hal lain yang membuat Sarjo heran, mereka membuat acara bakti sosial setahun sekali. Yang kata mereka bertujuan untuk membantu warga miskin alih-alih karena mereka ikut-ikutan kakak kelas yang pernah membuat acara itu. Apakah dengan acara itu masyarakat benar-benar terbantu? Setelah acara itu mereka jadi tidak miskin lagi?

Ada yang sibuk demo, penguasa bikin ini ditolak, penguasa bikin itu ditolak. Kecuali kalau uang entah akan ditolak atau diterima.
Satu lagi kegiatan yang dilakukan, bermesraan di kamar-kamar asrama. Tukang bersih-bersih seringkali menyaksikan hal tabu dilakukan oleh murid di kamar. Suatu ketika Wandoko ketahuan oleh tukang bersih-bersih tengah bersetubuh dengan murid lawan jenisnya. Dengan emas dua keping, Wandoko meminta tukang bersih-bersih untuk menutup mulutnya. Suatu hari Wandoko ketahuan lagi oleh tukang bersih-bersih sedang membawa gadis ke kamarnya. Kemudian tukang bersih-bersih itu meminta keping emas lebih banyak, Namun Wandoko tidak mau memberikannya bahkan satu keping pun. Wandoko kemudian mengunci pintu kamarnya dan mengabaikan tukang bersih-bersih itu. Karena kecewa tidak mendapatkan yang diinginkan, tukang bersih-bersih memanggil warga berbondong-bondong untuk menggrebek kamar asrama. Dan alhasil, banyak yang kena grebek, termasuk Wandoko. Dipergoki sedang bermesraan di atas kasur. Kabar tersiar ke seluruh penjuru negeri bahwa murid dari perguruan negeri Angan-angan melakukan perbuatan yang tidak berpendidikan, bahkan tak bermoral. Masyarakat semakin memandang rendah perguruan di negeri Angan-angan.

Namun berkat kacamata hitam, pandangan murid dan guru di perguruan Angan-angan menjadi tidak jelas. Murid dan guru perguruan di negeri Angan-angan menjadi tidak perlu memandang ke masyarakat. Mereka hanya perlu berangan-angan. Murid dan guru memiliki dunia sendiri yang penuh angan-angan dan seakan terpisah dengan masyarakat. Bahkan perguruan di negeri Angan-angan pun tak merasakan keberadaan dari masyarakat.

***
Setelah 4 tahun berguru di perguruan Angan-angan, tiba saatnya upacara kelulusan. Sarjo dan Parjo telah lulus. mereka diberi ijasah kelulusan oleh guru mereka, kemudian mereka berjalan meninggalkan perguruan. Setelah agak jauh berjalan, sampailah mereka di gerbang keluar. Ternyata gerbang itu masih dijaga oleh dua orang yang dulu. Salah satu penjaga berkata

“Lepaskan kacamata hitam kalian”
“Aku tak memakai kacamata hitam.”
“hahaha, apa kalian lupa? Kalau kalian selalu memakai kacamata hitam?”
“Ohhh iya, baru sadar aku. Baiklah”
Parjo tanpa basa basi langsung melepaskan kacamata hitam dan diperbolehkan keluar gerbang,
Namun Sarjo merasa aneh, ia bertanya kepada penjaga.
“Kenapa kita bisa tidak sadar kalau kita memakai kacamata hitam?”
“Kalian kurang peka pada hal hal di depan mata kalian. Kalian tidak pernah mempertanyakan tentang kacamata hitam yang kalian pakai. Makanya lama kelamaan kalian tidak menyadarinya,”
“Lalu kenapa bapak penjaga tidak lupa mengingatkan kami untuk melepaskan kacamata hitam?”
“Setiap ada orang melewati gerbang kita mengingatkan kacamata, bagaimana kita lupa?”
“Ohh pantas saja.”

Setelah itu Sarjo dan Parjo berjalan untuk pulang, pandangan mereka menjadi sangat jernih dan terang setelah melepas kacamata hitam. Dengan hati bangga mereka mendaki gunung batu untuk kembali ke masyarakat dan mewujudkan cita-citanya. Namun betapa kagetnya mereka ketika di puncak gunung batu. Silaunya matahari membuat mata mereka sakit dan mereka sulit untuk melihat. Pandangannya pun menjadi gelap dan buta.

Banjarnegara, 2017

Ini tulisan saya buat dulu sewaktu ingin mencoba menulis dengan genre satir. Jelek iya namanya juga baru latihan, tapi saya sendiri cukup suka dengan ide yang sewaktu itu terpikirkan. Semoga bisa dinikmati cerpen saya ini yang alakadarnya
Share:

[Cerpen] Sekedar Pensil Kayu

thumbnail
Sekedar Pensil Kayu
Oleh iezel Lee

Suatu senja di dekat rel kereta, lelaki tua menemukan pensil di antara kerikil dan memungutnya. Pensil itu tidak dicat, polos saja warna kayu. Terlihat dua garis samar yang melintang pada pensil tersebut. “Ini bukan pensil sembarangan, sepertinya ini pensil jaman dulu”, pikirnya. Pensil itu kelihatannya sudah cukup lama tergeletak di sana terlihat dari banyaknya debu dan kerak tanah menempel di beberapa bagian.

Lelaki tua itu duduk di dekat rel kereta, kemudian mengusap pensil yang ditemukannya, ia menjadi terinspirasi untuk menuliskan cerita pendek tentang suatu pensil ajaib yang menjadikan semua yang ditulisnya dapat menjadi kenyataan. “ya, cerita ini pasti akan menarik”, bisiknya kepada dirinya sendiri.

***

Lelaki tua ini tidak percaya pada hal-hal tahayul, ataupun kekuatan di luar sana. Ia hanya menganggap dunia ini ada, dan apapun yang membuatnya ada sudah tidak ikut campur lagi. Ketika ia menemukan pensil di hamparan kerikil, ia menyimpannya. Bukan berarti ia mulai percaya pada tahayul, hanya saja pensil itu terlihat antik, serta masih cukup bagus dan akan berguna untuk menulis beberapa cerita yang ada di kepalanya. Seperti cerita yang baru muncul di pikirannya senja tadi tentang seorang penulis yang mendapat keajaiban melalui sebuah pensil, atau cerita mengharukan yang sudah lama ada dipikirannya, yaitu cerita tentang perpisahan seorang lelaki dengan gadis yang saling mencintai.

“Sebaiknya aku raut dulu”, ia berbicara sendiri.
Lelaki tua ini tinggal sendirian, di sebuah rumah kecil di dekat stasiun kereta. Rumahnya hanya sebesar pos ronda. Bagian depan rumahnya ia isi dengan beberapa botol air mineral, beberapa bungkus rokok, serta beberapa kopi kemasan yang digantungkan pada tali. Di depannya rumahnya ada kursi bambu panjang, biasanya untuk duduk para pelanggan. Ia tidak pernah menikah. Saat muda ia melamar seorang gadis, dan saling berjanji akan selalu mencintai. Namun sehari setelahnya gadis itu pergi entah kemana tanpa pamit ataupun mengucapkan selamat tinggal dengan baik.

Ia tak pernah bisa mencintai orang lain lagi sejak itu. Sempat ia berpikir bahwa mungkin saja gadis yang meninggalkannya itu menikah dengan pria lain. Itu mungkin akan lebih baik daripada pergi tanpa pamit dan tak ada kabar sama sekali. Namun ketika teringat dulu saat mereka duduk di samping rel kereta. Ia jadi yakin suatu saat gadis itu akan kembali dan mereka akan bersama.

“Aku akan menulis cerita yang mana?”, lagi lagi lelaki tua itu berbicara sendiri.
 “Sebaiknya ku gabung saja ceritanya”, jawabnya kepada pertanyaannya sendiri.

Cerita yang ia tulis di awali dengan seorang lelaki berumur 19 tahun yang menyukai gadis sebayanya. Mereka adalah teman semenjak kecil, rumah mereka berjarak tidak lebih dari 100 meter. Akhir akhir ini mereka sering menghabiskan waktu senja di dekat rel kereta tidak jauh dari rumah.

“Kau suka senja kali ini Lia?”, tanya lelaki itu.
“Sangat suka“, jawabnya.
“Jadilah istriku. Aku akan selalu mencintaimu, dan kita dapat bersama-sama menikmati senja.”
“Iya, aku mau jadi istrimu. Aku juga akan selalu mencintaimu”
“Aku ingin menciummu Lia”, pinta lelaki itu.

Tiba-tiba lelaki tua tadi menjadi lelaki yang ditulisnya dan di depannya tengah berdiri gadis itu. Lalu mereka berciuman. Keesokan harinya ia ke rumah gadis itu dan hal yang mengherankan terjadi. Rumah itu kosong, gadis itu pergi, menghilang.
“Ohh, kenapa dia tetap menghilang?”, pikir lelaki itu.

Ia pulang dengan langkah gontai, lalu teringat tentang pensil ajaib yang ada di hamparan kerikil di samping rel kereta. Dengan segera ia mencari pensil itu, dan kemudian menemukannya.

Ia menuliskan suatu cerita lagi.
Cerita yang ia tulis ini di awali dari seorang lelaki berumur 19 tahun yang menyukai gadis sebayanya. Mereka adalah teman semenjak kecil, rumah mereka berjarak tidak lebih dari 100 meter. Akhir akhir ini mereka sering menghabiskan waktu senja di dekat rel kereta tidak jauh dari rumah.

“Kau suka senja kali ini Lia?”, tanya lelaki itu.
“Sangat suka“, jawabnya.
“Jadilah istriku. Aku akan selalu mencintaimu, dan kita dapat bersama-sama menikmati senja.”
“Iya, aku mau jadi istrimu. Aku juga akan selalu mencintaimu.”
“Aku ingin menciummu Lia”

Kemudian mereka berciuman. Karena hari mulai gelap mereka memutuskan untuk pulang ke rumah, lelaki itu diam-diam mengikutinya. Tiba-tiba lelaki itu menjadi lelaki yang ditulisnya. Dilihatnya gadis itu berjalan pulang. Gadis itu masuk ke dalam rumah. Lelaki itu tetap menunggu dan duduk bersembunyi di balik semak-semak di samping rumah gadis itu. Saat pagi hari telah tiba dilihatnya gadis itu ke luar rumah dengan gaun putih sangat indah. Kemudian lelaki itu berdiri dan hendak menghampirinya. Namun saat itu juga mobil jeep hitam mendekat ke arah gadis itu, dan keluar beberapa lelaki kekar yang menarik paksa gadis itu masuk ke mobil. Dalam sekejap gadis itu dibawa mobil jeep dan kemudian pergi.

Lelaki itu berlari mengejar jeep itu, namun tembakan pistol mengenai dada kanannya. Membuatnya roboh. Samar-samar dilihatnya mobil jeep itu pergi, sebelum semuanya terlihat gelap.
Begitu terbangun sekarang ia sudah berada pada rumah lamanya. Kembali pada tubuh tua yang berusia 60 tahun. Tangannya memegang pensil yang ia temukan sore kemarin di antara kerikil di pinggir rel kereta. Dilihatnya beberapa tumpuk kertas di ujung meja berisi cerita yang ia tulis dan di bawah tangannya tertindih selembar kertas yang masih kosong.

Lalu ia menulis “Lia, aku sangat mencintaimu.”, kemudian air matanya menetes ke atas kertas itu.
“Jika pensil ini memang ajaib mungkin aku akan menulis kau menikah dengan lelaki lain saja. Dan aku akan menunggumu hingga usia 60 tahun. Lalu kau datang menghampiriku, menikmati senja di samping rel kereta.”, begitu pikirnya.

Namun ia tak menulis cerita itu. Ia justru menaruh kembali pensilnya ke saku kanan jaketnya yang lusuh. Ia terpikir tentang sesuatu yang membuat dunia ini ada, dan kadang bertanya-tanya apakah sesuatu itu yang menuliskan seluruh kisah hidupnya? Takdirnya?
Tiba-tiba datang lelaki dan gadis yang berusia 20an ke warung kecil yang juga rumah bagi lelaki tua itu.

“kopi hitam dua”, ucap lelaki itu.
“Iya sebentar,”, lelaki tua kemudian mengambil dua gelas menuangkan kopi ke dalamnya, lalu menyeduhnya dengan air panas yang disimpan di termos.
“Ini silakan,” ucap lelaki tua itu, begitu lelaki tua itu melihat wajah gadis itu ia mengatakan “saat ku lihat wajahmu nona, membuatku teringat pada masa laluku”
“Memang bagaimana masa lalumu pak tua”, gadis itu bertanya
“Dulu sewaktu aku masih tampan seperti lelakimu aku bersama dengan gadis yang cantik sepertimu, namun tiba-tiba gadis itu menghilang.”
“Sepertinya kau benar-benar pak tua yang sedang kami cari, ibu memintaku mencarimu untuk menyampaikan surat ini.”
“Lelucon apa yang kamu buat nona, kau bahkan tak mengenalku. hahaha”, lelaki tua itu tertawa
“Ini bacalah, namun sayang sekali ibuku sudah meninggal karena gula.”, kata gadis itu sembari
menyerahkan surat dengan amplop putih polos itu. Di depan amplop tertulis “Untuk Widi”.
Ohh, ya ampun. Itu benar nama lelaki tua itu tertulis di sana. Tangannya bergetar saat menerima surat itu. Lelaki tua kemudian duduk dan mulai membuka surat itu.

“Widi, aku minta maaf karena tak pernah memberi kabar. Aku waktu itu diculik sama orang kekar, mereka membawaku entah kemana dan aku tak pernah bisa kabur. Begitu sampai di suatu tempat, ternyata tempat itu adalah tempat pelacuran. Setiap malam aku harus melayani lelaki-lelaki bejat. Hingga waktu itu ada seseorang yang membeliku dan membawaku keluar dari tempat itu. Ia mencintaiku, dan akupun juga begitu. Kami menikah. Dia sama sekali tak pernah bertanya masa laluku sehingga akupun tak sempat untuk menceritakan tentangmu. Aku ingin sekali memberitahumu bahwa aku sangat mencintai lelaki ini yang sekarang jadi suamiku. Namun aku tak pernah berani mengirim surat kepadamu atau menemuimu, ku pikir kau pasti akan sangat kecewa jika tahu aku begini. Sekarang bayang-bayang kematian membuatku tak tenang, dan ku pikir sebaiknya aku memberitahumu. Maka beginilah suratku. Semoga disana kau dan istrimu juga bahagia.
Dariku, Lia”

***
Lelaki tua itu kecewa dengan yang ia tulis sendiri, ia membungkus pensil itu dengan kertas berisi cerita yang ia tulis kemudian melemparkannya kembali ke hamparan kerikil.  Ia melihat matahari mulai bersembunyi di atas pohon yang jauh di barat, kemudian ia memutuskan untuk berjalan pulang ke rumahnya.
Tamat

Serpong, September 20, 2017
Share:

Foto Wisuda ke-130 MIPA UNSOED

thumbnail
Wahai kawan MIPA UNSOED, berhubung saya mengalami kendala mengambil softcopy dari CD maka saya inisiatif mengupload semua foto anak MIPA UNSOED yang wisuda ke 130. Barangkali kamu juga mengalami kendala kan bisa download aja dari yang saya upload ini.

Gambar berikut adalah preview, untuk mengunduh versi HD silakan klik saja gambar yang ingin anda unduh..setelah itu masuk ke safelink dulu untuk menuju link asli

A. Bersama Rektor











































B. Bersama Dekan









































Itu udah semua foto anak mipa yang wisuda ke 130 ya guys, moga bermanfaat..ya sekalian buat backup lah, takutnya kan CDnya rusak apa gmna, tp kan tenang soalnya udah ada di blog saya softcopynya..
Share: