Sepasang Merpati yang Hilang
Karangan iezel Lee
Asap rokok mengepul dan perlahan menyebar ke seluruh sudut mikrobus. Meski mikrobus telah sesak penumpang, pemuda berseragam SMK tetap saja meniupkan asap rokoknya. Pemuda tersebut duduk di dekat sopir, sekitar lima orang. Untung saja hanya satu orang yang merokok. Jika semua pemuda itu merokok mungkin mikrobus akan nampak seperti toko liquid vapor keliling, karena penuh asap. Penumpang mikrobus itu seakan terbiasa dengan asap rokok, hanya beberapa ibu-ibu dan tentu saja Adriana yang merasa terganggu dengan asap rokok. Adriana duduk di dekat pintu tengah, sehingga ia merasa cukup lega karena udara dari luar dapat terhirup masuk ke paru-parunya. Meski sebenarnya udara dari luar justru berdebu, ia anggap itu lebih menyegarkan daripada udara di dalam mikrobus yang sesak dan berasap. Adriana menatap wajah suami yang sangat ia cintai itu, tak ada lelaki lain yang begitu ia cintai selain suaminya itu. Kepala Andrianto tertunduk, sambil berdekap tangan dan terlihat kelelahan.
Perjalanan Adriana ke Banjarnegara memang tidak lama, hanya satu setengah jam saja. Namun suaminya memang sedang lelah, karena semalaman suaminya menghadiri rapat warga. Wajah suaminya ketika tidur agak berbeda dengan saat terjaga, begitu lugu dan kekanakan. Dalam hati, Adriana berharap keresahan yang mengganggu mereka di Purwokerto tidak mengikuti hingga ke Banjarnegara.
Mikrobus itu, berkali-kali membunyikan klaksonnya lalu berdecit. Dengan bergegas kondektur menaikkan penumpang baru, padahal kursi telah penuh dan yang berdiri pun sudah saling bersenggolan. Tiba-tiba mikrobus berdecit lagi di pertigaan sokaraja, Andrianto berbicara kepada istrinya.
“Lihatlah burung itu”, kata Andrianto sambil menunjuk burung merpati yang bertengger di genteng bangunan tua.
Adriana mencoba mencari yang sedang dimaksud suaminya, dan benar saja. Terlihat sepasang burung sedang bertengger di atas sana. Adriana jadi teringat tentang sepasang merpati yang mereka pelihara di Purwokerto, yang menghilang ketika mereka akan berangkat.
“Aku jadi teringat merpati kita mas”, Adriana memanggil suaminya dengan panggilan mas meskipun sebenarnya ia lebih tua satu tahun.
“Merpati itu pergi entah kemana, sudahlah kita relakan saja”
Sebenarnya yang Adriana khawatirkan adalah keselamatan dari merpati, apakah setelah mereka pergi merpati tersebut dapat makanan yang cukup?
Setelah lampu hijau menyala, mikrobus bergerak lagi. Kali ini penumpang telah sesak dan sepertinya mikrobus ini tak mampu mengangkut penumpang lagi. Adriana melihat para penumpang yang berdiri berdesakan, pandangannya kemudian tertuju ke wajah ketakutan dari gadis SMK yang pantatnya tersenggol senggol oleh pria dibelakangnya. Pandangannya beralih ke wajah si pria yang baginya terlihat seperti anjing kelaparan. Dengan umpatan kasar ia gumamkan ketika memandang pria itu. Kemudian ia menatap suaminya, tak disangkanya bahwa suaminya juga sedang memperhatikan gadis itu. Dengan isyarat yang mudah dimengerti, Andrianto mempersilakan gadis itu untuk menempati tempat duduk yang ditempatinya. Namun tak disangka, justru gadis itu semakin terlihat ketakutan dan tidak berani menoleh lagi ke arahnya. Lalu gadis itu minta diturunkan,
“kiri pak”, ucapnya dengan tergesa-gesa.
Mikrobus berdecit lagi, disusul dengan turunnya gadis tersebut. Kelima pemuda yang duduk di dekat supir pun ikut turun. Andrianto menjadi salah tingkah. Ia kemudian memandang istrinya, dan mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Nanti kita ngontrak saja dulu, kalau betah baru kita beli rumah disana. Kalau ada uangnya tapi.”
“Iya mas, aku ngikut mas aja”
Angin terdengar melolong ketika mikrobus melaju semakin kencang, Adriana dan suaminya terdiam.
***
Di Purwokerto, sepasang burung merpati terlihat menunggu seseorang, di samping rumah yang baru seminggu ditinggal pergi sebagian penghuninya. Seorang wanita memberinya makan, ia terlihat cukup tua. Ditunjukkan dari keriput di dekat matanya. Matanya yang sayu, serta bibirnya yang terlihat seperti mawar layu, menambah kesan bahwa ia mungkin telah berumur enam puluhan. Dengan lemah lembut ia elus kepala merpati yang sedang makan bij jagung darinya. Kulit tangannya yang keriput tidak membuat takut merpati tersebut. Malah terkadang, jika wanita tua itu lewat ke samping rumah, merpati itu terbang untuk hinggap di lengan tangannya.
“Sungguh aku tak tahu kalau akhirnya seperti ini, maafkan aku”, wanita itu berbicara kepada merpati.
Semenjak suaminya meninggal ia jadi tertutup dengan orang lain. Sangat sedikit berbicara, kecuali kepada merpati itu. Ia menghabiskan berjam jam untuk berbicara dengan merpati itu. Para tetangga terkadang menganggap kalau dia depresi, terlebih lagi sekarang anaknya memilih tinggal di Banjarnegara. Ia semakin terlihat kurang waras. Kadang terlihat juga ia menangis saat memberi makan kepada burung merpati itu.
***
Di Banjarnegara, sepasang suami istri menjalani kehidupan yang baru. Mereka tidak memiliki anak. Adriana yang semasa SMA pernah diperkosa oleh seseorang di diskotik Baturraden, membuatnya tak bisa hamil lagi. Katanya ia diberi obat di minumannya. Andrianto dengan ketulusan cintanya menerima Adriana yang sebegitu adanya.
Sejak kecil mereka sering bersama karena rumah mereka dekat. Meskipun usianya berbeda satu tahun. Hingga menginjak remaja, mereka masih sering bersama, ngobrol di teras rumah, dan rasa tertarik di antara keduanya muncul, meski dulu tak resmi jadian. Hingga baru setelah kejadian Adriana diperkosa, Andrianto menunjukkan betapa pedulinya ia kepada Adriana. Andrianto yang selalu menemaninya, menyemangatinya, dan melindunginya. Hingga suatu ketika Andrianto memutuskan untuk menikahi Adriana.
“Bu, aku ingin menikahi Adriana”
“Jangan! Seumur hidupku aku tak akan merestui permintaanmu! Tidak bisakah kau cari perempuan lain saja!?”
“Aku sungguh mencintai Adriana bu, tulus. Tidak peduli Adriana sudah tidak perawan, atau mandul, atau bagaimanapun. Tolong ibu restui kami, karena aku memaksa”
“Ibu tak ingin mendengar permintaan itu lagi, ibu akan siapkan perempuan lain untukmu, nanti biar ibu yang bilang ke Adriana.”
“Tak usah, aku tetap akan menikahi Adriana, aku sungguh mencintai dia, hanya kematianlah yang bisa memisahkan kita. Bahkan ibupun tidak bisa!”
“Kau tidak mau menuruti ibu, ibu tak akan menganggap Adriana sebagai menantu!”
“Baiklah meskipun tanpa restu ibu. Toh bapak sudah merestui.”
Mereka berdua akhirnya menikah. Adriana sungguh bahagia mencintai Andrianto yang juga sangat mencintainya. Hingga saat ini cintanya tidak pernah berkurang kepada Andrianto. Mereka berdua menjalani kehidupan pernikahan yang bahagia.
Namun suatu ketika kebahagiaan mereka agak terusik ketika Adriana menanyakan tentang mertuanya yang sendirian di Purwokerto.
“Mas, apa mas tidak kasihan dengan ibu?”
“Kenapa kau menanyakan hal seperti itu? Kita kesini karena aku membenci ibu”
“Bapakmu bunuh diri itu kemauannya sendiri, bapakmu membenci ibumu juga karena masalah mereka. Mas jangan ikut menghakimi ibu, aku dengar ibumu menjadi sangat depresi semenjak bapakmu meninggal. Kenapa malah mas tidak menemani ibu di saat-saat tersulit?”
“Kau tahu dik, kejujuran adalah hal yang harus ada dalam suatu hubungan. Tapi ibuku lebih memilih tidak jujur. Itu yang membuat saya jadi benci.”
“Sudahlah mas, lebih baik kita maafkan ibu. Lagipula sekarang kan ibu sudah tua, kasihan dia jika disaat-saat tua begini malah menderita.”
Andrianto kemudian tertawa kecil, seakan puas melihat ibunya menderita. Namun air mata dipelupuk matanya tidak dapat berbohong. Bahwa ia juga merasakan penderitaan ibunya, yang ditinggal suami dan anaknya.
“Dik, kalau kamu tahu tentang ibuku kamu juga pasti akan membencinya”
“Aku tahu, bapakmu bunuh diri juga karena tahu ibumu selingkuh kan?”
“Iya, kenapa ia tidak berterus terang saja dari dulu. Aku sangat membenci hal itu”
“Mungkin ibumu tak mau kehilangan cinta bapakmu, atau dia takut bapakmu akan marah besar atau lebih baik kau coba saja tanyakan padanya mas”
***
Purwokerto dihebohkan karena adanya mayat yang tergantung di pohon mangga di samping rumah. Mayat itu adalah seorang wanita tua yang biasanya jongkok untuk memberi makan merpati. Tetangganya berteriak histeris begitu tahu wanita yang kemarin-kemarin sering dilihatnya, telah mati bunuh diri. Ia jadi linglung, diajak bicara orang tidak nyambung. Kadang bergumam tidak jelas. Memang dari kemarin ia sudah terlihat gelisah, namun hari ini ketika matinya wanita tua itu, ia malah menjadi semakin parah.
Para warga berusaha menghubungi anggota keluarga dari mayat tersebut, termasuk juga menghubungi Andrianto. Batin Andrianto begitu terpukul ketika mengetahui ibunya bunuh diri, ia menyesal tidak menemani ibunya, dan meninggalkan ibunya hanya karena kebenciannya. Sebagai penawar sesal, Andrianto bersama istrinya menuju Purwokerto untuk melihat jasad ibunya.
Begitu Andrianto dan istrinya tiba di rumah duka, tiba tiba tetangga yang keliatan linglung tadi berteriak memanggil mereka,
“Andrianto menantuku, Adriana anakku, oh malangnya kalian, sungguh malang, oh malangnya bapakmu Andrianto, oh malangnya diriku, sungguh malang manusia ini”
“Ibu? kenapa bicara seperti itu?”, tanya Adriana.
“Kalian tidak seharusnya mengalami hal ini, tapi hal ini bisa membuatku gila, aku tidak dapat merahasiakannya nak”
Jantung Adriana menjadi berdegup tidak karuan. Namun ia mencoba memberanikan diri untuk mendengar ibunya bercerita. Begitupun Andrianto, yang berdiri disamping istrinya, telah siap untuk mendengar cerita.
“Nak, kau tahu? Almarhum sering berbicara sendiri dengan merpati. Lalu kemarin ibu mencoba untuk mendengar apa yang almarhum katakan. Suatu hal yang memukul batin ibu, ia berbicara bahwa ia menyesal selingkuh dengan almarhum bapakmu nak. Ternyata pria yang berselingkuh dengan almarhum adalah almarhum bapakmu. Almarhum juga mengatakan telah mendapatkan anak karena perselingkuhan itu, kalian saudara sebapak.”, lalu air mata mengalir deras di pipi ibunya Adriana.
Cerita dari ibunya itu membuat Adriana seakan mendengar petir di siang bolong. Pandangannya menjadi redup, lalu tak sadarkan diri. Sedangkan Andrianto melihat dunia seakan sunyi, ia tak mendengar apa-apa lagi selain kata terakhir dari mertuanya, “kalian saudara sebapak” yang terus-menerus terngiang di kepala.
Andrianto menyesalkan ibunya yang menyembunyikan rahasia penting itu entah karena apa, atau ia justru mengutuk kenyataan yang ada, kenyataan rahasia yang kini malah terungkap. Semua perasaannya bercampur tidak jelas.
Semua telah terjadi, apa yang ada adalah kenyataannya. Setelah proses pemakaman selesai, Andrianto dan Adriana memutuskan untuk menginap semalam di Purwokerto. Di rumah duka, diadakan acara doa untuk kematian almarhum. Setelah acara doa selesai, mereka berdua beranjak ke tempat tidur. Namun mereka berdua tidak berkata satu sama lain, tatapan di antara mereka berdua kosong dan muram. Kandang merpati yang di samping rumah juga kosong.
Keesokan harinya, matahari terbit seperti biasa. Menyinari kota Purwokerto seperti di pagi sebelumnya. Andriyanto memulai pembicaraan dengan istrinya yang juga saudara sebapaknya.
“Aku tidak percaya bahwa semua ini adalah nyata, bahwa aku mencintai kakakku sendiri. Namun semua ini kehendak Tuhan. Bagiku kau adalah cinta sejatiku. Seperti kataku pada almarhum ibuku, aku akan mengatakan padamu juga, hanya kematianlah yang dapat memisahkan kita.”
Adriani mengalirkan air matanya dengan begitu deras setelah mendengar ucapan Andriyanto, ia tak menjawabnya dengan kata-kata apapun. Lalu perlahan ia mendekat ke Andriyanto. Merekapun saling berpelukan.
Serpong, 03 Agustus 17
Ini tulisan waktu masih latihan..sekarang lagi iseng iseng lihat folder di laptop, tiba tiba liat ini mending tek taruh blog biar ga ilang..buat kenangan
Karangan iezel Lee
Asap rokok mengepul dan perlahan menyebar ke seluruh sudut mikrobus. Meski mikrobus telah sesak penumpang, pemuda berseragam SMK tetap saja meniupkan asap rokoknya. Pemuda tersebut duduk di dekat sopir, sekitar lima orang. Untung saja hanya satu orang yang merokok. Jika semua pemuda itu merokok mungkin mikrobus akan nampak seperti toko liquid vapor keliling, karena penuh asap. Penumpang mikrobus itu seakan terbiasa dengan asap rokok, hanya beberapa ibu-ibu dan tentu saja Adriana yang merasa terganggu dengan asap rokok. Adriana duduk di dekat pintu tengah, sehingga ia merasa cukup lega karena udara dari luar dapat terhirup masuk ke paru-parunya. Meski sebenarnya udara dari luar justru berdebu, ia anggap itu lebih menyegarkan daripada udara di dalam mikrobus yang sesak dan berasap. Adriana menatap wajah suami yang sangat ia cintai itu, tak ada lelaki lain yang begitu ia cintai selain suaminya itu. Kepala Andrianto tertunduk, sambil berdekap tangan dan terlihat kelelahan.
Perjalanan Adriana ke Banjarnegara memang tidak lama, hanya satu setengah jam saja. Namun suaminya memang sedang lelah, karena semalaman suaminya menghadiri rapat warga. Wajah suaminya ketika tidur agak berbeda dengan saat terjaga, begitu lugu dan kekanakan. Dalam hati, Adriana berharap keresahan yang mengganggu mereka di Purwokerto tidak mengikuti hingga ke Banjarnegara.
Mikrobus itu, berkali-kali membunyikan klaksonnya lalu berdecit. Dengan bergegas kondektur menaikkan penumpang baru, padahal kursi telah penuh dan yang berdiri pun sudah saling bersenggolan. Tiba-tiba mikrobus berdecit lagi di pertigaan sokaraja, Andrianto berbicara kepada istrinya.
“Lihatlah burung itu”, kata Andrianto sambil menunjuk burung merpati yang bertengger di genteng bangunan tua.
Adriana mencoba mencari yang sedang dimaksud suaminya, dan benar saja. Terlihat sepasang burung sedang bertengger di atas sana. Adriana jadi teringat tentang sepasang merpati yang mereka pelihara di Purwokerto, yang menghilang ketika mereka akan berangkat.
“Aku jadi teringat merpati kita mas”, Adriana memanggil suaminya dengan panggilan mas meskipun sebenarnya ia lebih tua satu tahun.
“Merpati itu pergi entah kemana, sudahlah kita relakan saja”
Sebenarnya yang Adriana khawatirkan adalah keselamatan dari merpati, apakah setelah mereka pergi merpati tersebut dapat makanan yang cukup?
Setelah lampu hijau menyala, mikrobus bergerak lagi. Kali ini penumpang telah sesak dan sepertinya mikrobus ini tak mampu mengangkut penumpang lagi. Adriana melihat para penumpang yang berdiri berdesakan, pandangannya kemudian tertuju ke wajah ketakutan dari gadis SMK yang pantatnya tersenggol senggol oleh pria dibelakangnya. Pandangannya beralih ke wajah si pria yang baginya terlihat seperti anjing kelaparan. Dengan umpatan kasar ia gumamkan ketika memandang pria itu. Kemudian ia menatap suaminya, tak disangkanya bahwa suaminya juga sedang memperhatikan gadis itu. Dengan isyarat yang mudah dimengerti, Andrianto mempersilakan gadis itu untuk menempati tempat duduk yang ditempatinya. Namun tak disangka, justru gadis itu semakin terlihat ketakutan dan tidak berani menoleh lagi ke arahnya. Lalu gadis itu minta diturunkan,
“kiri pak”, ucapnya dengan tergesa-gesa.
Mikrobus berdecit lagi, disusul dengan turunnya gadis tersebut. Kelima pemuda yang duduk di dekat supir pun ikut turun. Andrianto menjadi salah tingkah. Ia kemudian memandang istrinya, dan mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Nanti kita ngontrak saja dulu, kalau betah baru kita beli rumah disana. Kalau ada uangnya tapi.”
“Iya mas, aku ngikut mas aja”
Angin terdengar melolong ketika mikrobus melaju semakin kencang, Adriana dan suaminya terdiam.
***
Di Purwokerto, sepasang burung merpati terlihat menunggu seseorang, di samping rumah yang baru seminggu ditinggal pergi sebagian penghuninya. Seorang wanita memberinya makan, ia terlihat cukup tua. Ditunjukkan dari keriput di dekat matanya. Matanya yang sayu, serta bibirnya yang terlihat seperti mawar layu, menambah kesan bahwa ia mungkin telah berumur enam puluhan. Dengan lemah lembut ia elus kepala merpati yang sedang makan bij jagung darinya. Kulit tangannya yang keriput tidak membuat takut merpati tersebut. Malah terkadang, jika wanita tua itu lewat ke samping rumah, merpati itu terbang untuk hinggap di lengan tangannya.
“Sungguh aku tak tahu kalau akhirnya seperti ini, maafkan aku”, wanita itu berbicara kepada merpati.
Semenjak suaminya meninggal ia jadi tertutup dengan orang lain. Sangat sedikit berbicara, kecuali kepada merpati itu. Ia menghabiskan berjam jam untuk berbicara dengan merpati itu. Para tetangga terkadang menganggap kalau dia depresi, terlebih lagi sekarang anaknya memilih tinggal di Banjarnegara. Ia semakin terlihat kurang waras. Kadang terlihat juga ia menangis saat memberi makan kepada burung merpati itu.
***
Di Banjarnegara, sepasang suami istri menjalani kehidupan yang baru. Mereka tidak memiliki anak. Adriana yang semasa SMA pernah diperkosa oleh seseorang di diskotik Baturraden, membuatnya tak bisa hamil lagi. Katanya ia diberi obat di minumannya. Andrianto dengan ketulusan cintanya menerima Adriana yang sebegitu adanya.
Sejak kecil mereka sering bersama karena rumah mereka dekat. Meskipun usianya berbeda satu tahun. Hingga menginjak remaja, mereka masih sering bersama, ngobrol di teras rumah, dan rasa tertarik di antara keduanya muncul, meski dulu tak resmi jadian. Hingga baru setelah kejadian Adriana diperkosa, Andrianto menunjukkan betapa pedulinya ia kepada Adriana. Andrianto yang selalu menemaninya, menyemangatinya, dan melindunginya. Hingga suatu ketika Andrianto memutuskan untuk menikahi Adriana.
“Bu, aku ingin menikahi Adriana”
“Jangan! Seumur hidupku aku tak akan merestui permintaanmu! Tidak bisakah kau cari perempuan lain saja!?”
“Aku sungguh mencintai Adriana bu, tulus. Tidak peduli Adriana sudah tidak perawan, atau mandul, atau bagaimanapun. Tolong ibu restui kami, karena aku memaksa”
“Ibu tak ingin mendengar permintaan itu lagi, ibu akan siapkan perempuan lain untukmu, nanti biar ibu yang bilang ke Adriana.”
“Tak usah, aku tetap akan menikahi Adriana, aku sungguh mencintai dia, hanya kematianlah yang bisa memisahkan kita. Bahkan ibupun tidak bisa!”
“Kau tidak mau menuruti ibu, ibu tak akan menganggap Adriana sebagai menantu!”
“Baiklah meskipun tanpa restu ibu. Toh bapak sudah merestui.”
Mereka berdua akhirnya menikah. Adriana sungguh bahagia mencintai Andrianto yang juga sangat mencintainya. Hingga saat ini cintanya tidak pernah berkurang kepada Andrianto. Mereka berdua menjalani kehidupan pernikahan yang bahagia.
Namun suatu ketika kebahagiaan mereka agak terusik ketika Adriana menanyakan tentang mertuanya yang sendirian di Purwokerto.
“Mas, apa mas tidak kasihan dengan ibu?”
“Kenapa kau menanyakan hal seperti itu? Kita kesini karena aku membenci ibu”
“Bapakmu bunuh diri itu kemauannya sendiri, bapakmu membenci ibumu juga karena masalah mereka. Mas jangan ikut menghakimi ibu, aku dengar ibumu menjadi sangat depresi semenjak bapakmu meninggal. Kenapa malah mas tidak menemani ibu di saat-saat tersulit?”
“Kau tahu dik, kejujuran adalah hal yang harus ada dalam suatu hubungan. Tapi ibuku lebih memilih tidak jujur. Itu yang membuat saya jadi benci.”
“Sudahlah mas, lebih baik kita maafkan ibu. Lagipula sekarang kan ibu sudah tua, kasihan dia jika disaat-saat tua begini malah menderita.”
Andrianto kemudian tertawa kecil, seakan puas melihat ibunya menderita. Namun air mata dipelupuk matanya tidak dapat berbohong. Bahwa ia juga merasakan penderitaan ibunya, yang ditinggal suami dan anaknya.
“Dik, kalau kamu tahu tentang ibuku kamu juga pasti akan membencinya”
“Aku tahu, bapakmu bunuh diri juga karena tahu ibumu selingkuh kan?”
“Iya, kenapa ia tidak berterus terang saja dari dulu. Aku sangat membenci hal itu”
“Mungkin ibumu tak mau kehilangan cinta bapakmu, atau dia takut bapakmu akan marah besar atau lebih baik kau coba saja tanyakan padanya mas”
***
Purwokerto dihebohkan karena adanya mayat yang tergantung di pohon mangga di samping rumah. Mayat itu adalah seorang wanita tua yang biasanya jongkok untuk memberi makan merpati. Tetangganya berteriak histeris begitu tahu wanita yang kemarin-kemarin sering dilihatnya, telah mati bunuh diri. Ia jadi linglung, diajak bicara orang tidak nyambung. Kadang bergumam tidak jelas. Memang dari kemarin ia sudah terlihat gelisah, namun hari ini ketika matinya wanita tua itu, ia malah menjadi semakin parah.
Para warga berusaha menghubungi anggota keluarga dari mayat tersebut, termasuk juga menghubungi Andrianto. Batin Andrianto begitu terpukul ketika mengetahui ibunya bunuh diri, ia menyesal tidak menemani ibunya, dan meninggalkan ibunya hanya karena kebenciannya. Sebagai penawar sesal, Andrianto bersama istrinya menuju Purwokerto untuk melihat jasad ibunya.
Begitu Andrianto dan istrinya tiba di rumah duka, tiba tiba tetangga yang keliatan linglung tadi berteriak memanggil mereka,
“Andrianto menantuku, Adriana anakku, oh malangnya kalian, sungguh malang, oh malangnya bapakmu Andrianto, oh malangnya diriku, sungguh malang manusia ini”
“Ibu? kenapa bicara seperti itu?”, tanya Adriana.
“Kalian tidak seharusnya mengalami hal ini, tapi hal ini bisa membuatku gila, aku tidak dapat merahasiakannya nak”
Jantung Adriana menjadi berdegup tidak karuan. Namun ia mencoba memberanikan diri untuk mendengar ibunya bercerita. Begitupun Andrianto, yang berdiri disamping istrinya, telah siap untuk mendengar cerita.
“Nak, kau tahu? Almarhum sering berbicara sendiri dengan merpati. Lalu kemarin ibu mencoba untuk mendengar apa yang almarhum katakan. Suatu hal yang memukul batin ibu, ia berbicara bahwa ia menyesal selingkuh dengan almarhum bapakmu nak. Ternyata pria yang berselingkuh dengan almarhum adalah almarhum bapakmu. Almarhum juga mengatakan telah mendapatkan anak karena perselingkuhan itu, kalian saudara sebapak.”, lalu air mata mengalir deras di pipi ibunya Adriana.
Cerita dari ibunya itu membuat Adriana seakan mendengar petir di siang bolong. Pandangannya menjadi redup, lalu tak sadarkan diri. Sedangkan Andrianto melihat dunia seakan sunyi, ia tak mendengar apa-apa lagi selain kata terakhir dari mertuanya, “kalian saudara sebapak” yang terus-menerus terngiang di kepala.
Andrianto menyesalkan ibunya yang menyembunyikan rahasia penting itu entah karena apa, atau ia justru mengutuk kenyataan yang ada, kenyataan rahasia yang kini malah terungkap. Semua perasaannya bercampur tidak jelas.
Semua telah terjadi, apa yang ada adalah kenyataannya. Setelah proses pemakaman selesai, Andrianto dan Adriana memutuskan untuk menginap semalam di Purwokerto. Di rumah duka, diadakan acara doa untuk kematian almarhum. Setelah acara doa selesai, mereka berdua beranjak ke tempat tidur. Namun mereka berdua tidak berkata satu sama lain, tatapan di antara mereka berdua kosong dan muram. Kandang merpati yang di samping rumah juga kosong.
Keesokan harinya, matahari terbit seperti biasa. Menyinari kota Purwokerto seperti di pagi sebelumnya. Andriyanto memulai pembicaraan dengan istrinya yang juga saudara sebapaknya.
“Aku tidak percaya bahwa semua ini adalah nyata, bahwa aku mencintai kakakku sendiri. Namun semua ini kehendak Tuhan. Bagiku kau adalah cinta sejatiku. Seperti kataku pada almarhum ibuku, aku akan mengatakan padamu juga, hanya kematianlah yang dapat memisahkan kita.”
Adriani mengalirkan air matanya dengan begitu deras setelah mendengar ucapan Andriyanto, ia tak menjawabnya dengan kata-kata apapun. Lalu perlahan ia mendekat ke Andriyanto. Merekapun saling berpelukan.
Serpong, 03 Agustus 17
Ini tulisan waktu masih latihan..sekarang lagi iseng iseng lihat folder di laptop, tiba tiba liat ini mending tek taruh blog biar ga ilang..buat kenangan