[Cerpen] Kacamata Hitam

Kacamata Hitam
karangan : iezel Lee

   Tidak ada benda yang dibuat tanpa tujuan tertentu, misalnya saja sepatu. Banyak kisah yang bisa kita dengar bagaimana sepatu muncul. Ada yang menceritakan bahwa sepatu dibuat sejak zaman es. Sepatu tersebut dibuat dari bahan kulit hewan buruan. Ya tentu saja agar melindungi diri dari dinginnya es yang setiap hari diinjak. Lalu ada juga cerita bahwa sepatu ada sejak peradaban mesir kuno, sepatu dibuat dengan seni dan berhiaskan gambar yang indah. Saat itu sepatu digunakan untuk melindungi kaki dari panasnya gurun sahara, juga untuk menunjukkan status sosialnya. Karena hanya raja dan bangsawanlah yang diperbolehkan mengenakan sepatu. Kini sepatu menjadi benda umum, biasa saja, dan semua orang boleh memakainya.

Seperti Sarjo yang kadang memakai sepatu ketika berguru di negeri awan. Murid-murid lainnya melirik kaki Sarjo yang memakai sepatu itu. Begitupun teman akrabnya, Budi. Sarjo menjadi risih karena menjadi pusat perhatian. Obrolan pun dilakukan untuk mengurangi kerisihannya.

"Halo bud, ada apa? Kenapa kamu melirik ke sini terus?"
"mmmm.. Jo, kenapa kamu memakai sepatu?"
"sandal punya saya sedang dipakai bapak untuk menghadiri rapat warga. Jadinya saya memakai sepatu".
"kasihan, kakimu pasti pengap."
"tidak apalah, toh tidak setiap hari juga."

Sebenarnya Budi merasa aneh melihat Sarjo memakai sepatu. Maklum, ketika berguru di negeri awan ini mereka hanya duduk di dalam ruangan. Untuk apa Sarjo memakai sepatu? Namun di samping itu Budi juga merasa kasihan.

Sarjo dan Budi menjadi cukup akrab karena mereka seringkali mengomentari satu sama lain. Dari ujung rambut hingga ujung kaki. Pernah Sarjo mengomentari Budi yang memakai dasi.

"Bud, kau memakai apa di lehermu?"
"dasi, kenapa?"
"sangat buruk, kau seperti anjing yang diikat pemiliknya."
"Dasar kau, aku pakai ini untuk mengelap keringatku. Lagipula apalagi gunanya dasi ini jika ku biarkan tergantung di lemari."
"taruh saja di dalam saku celanamu."
"Biarlah seperti ini saja. Aku lebih suka menaruh dasi di leher. Lebih praktis"
"Terserah kau saja."

Tiga tahun Sarjo berguru di perguruan negeri awan, tiba saatnya Sarjo untuk meninggalkan perguruan di negeri awan tersebut, karena telah semua ilmu di perguruan negeri awan ia dapatkan. Oleh gurunya yang buta, Sarjo disarankan untuk melanjutkan berguru di Negeri Angan-angan. Sarjo adalah murid istimewa. Karena di negeri awan, ia menunjukkan kecerdasannya dalam berpikir. Setiap apa yang diucapkan oleh gurunya, ia dapat mengucapkan kembali. Sangat jarang murid seperti Sarjo. Kebanyakan murid disini hanya memahami maksud dari sang guru dan tak pernah mencoba menghapalkan ucapan gurunya. Gurunya menaruh harapan besar kepada Sarjo untuk dapat menjadi penerusnya.

***
Sarjo pun memulai perjalanannya ke Negeri Angan-angan. Ketika Sarjo sampai di negeri Angan-angan, ia mencari tempat dimana orang-orang berguru. Setelah bertanya ke gelandangan di jalan, ia diberi tau bahwa tempat berguru ada di dekat gunung batu. Lalu gelandangan itu menunjuk ke arah gunung batu di negeri itu dan berkata

"Kau lihat gunung batu itu? Kau perlu melaluinya, di baliknya akan kau temukan tempat untuk berguru. Namun kau perlu tahu, perjalanan untuk kesana akan cukup sulit. Satu-satunya jalan kau perlu mendaki gunung batu itu. Namun ingat, jangan melihat ke bawah ketika mendaki. Karena kalau melihat ke bawah, puncak gunung batu itu menjadi semakin tinggi."
"Terimakasih kau telah memberitahuku. Aku akan berusaha semampuku untuk ke tempat itu."
Di perjalanan ia melihat sedang ada orasi dari penguasa negeri Angan-angan yang buta. Sangat ramai orang yang mengerumuni acara itu. Disana dibagikan pula sembako. Sarjo tidak tahu apakah acara itu ramai karena penguasa yang bijaksana, ataukah karena sembako gratis. Entahlah. Sarjo kembali melanjutkan perjalanannya, di pertigaan jalan ia bertemu dengan pemuda lain yang berjalan ke arah gunung batu.
"Hey kau, kau mau kesana juga?"
"Tentu saja, aku akan kesana. Orang-orang yang telah berguru dari negeri Angan-angan menjadi orang penting. Aku ingin menjadi orang penting. Penguasa negeri misalnya"
"Wah, cita-citamu cukup besar. Kalau aku ingin kesana karena disarankan oleh guruku. Aku ingin meneruskan perjuangan guruku, menjadi guru di negeriku."
"wah, cita-citamu juga bagus. Ayo kita berangkat kesana bersama-sama."
“Ayo, Oh iya, siapa namamu?"
"Panggil saja Parjo. Kalau kamu?"
"Aku Sarjo."

Begitulah awal pertemuan dua calon murid negeri Angan-angan, dan menjadi titik awal persahabatan mereka nantinya.
Mereka berdua mendaki gunung batu bersama, melalui rintangan terjal dan celah-celah batuan yang dalam. Namun berkat saling mendukung dan saling membantu mereka berdua dapat mencapai puncak gunung batu itu dengan selamat.
Dari atas gunung batu terlihat pemandangan yang luar biasa, bangunan megah seperti istana. Mereka semakin bersemangat untuk berguru di sana. Dengan hati-hati mereka melanjutkan perjalanan. Hingga sampailah ke depan gerbang perguruan Angan-angan.
Gerbang perguruan Angan-angan dijaga oleh dua orang berkacamata hitam.
Ketika mereka akan masuk, dua penjaga tadi menahannya dan mengatakan.

"Pakailah ini sebelum kau masuk."
“Baiklah.”
Parjo mengambil kacamata hitam tersebut dan memakainya, Parjo pun dipersilakan masuk. Berbeda dengan Sarjo yang tidak langsung memakainya, ia malah bertanya kepada penjaga.
"Kenapa aku harus memakai kacamata hitam ini?", dengan heran Sarjo bertanya.
Dua penjaga tadi malah tertawa, namun mereka sebenarnya juga tidak tahu.
Salah satu penjaga tadi mencoba menjawab.
"Semua orang yang masuk ke tempat berguru ini harus menggunakan kacamata hitam. Kenapa kamu bertanya hal yang aneh seperti itu? Dari dulu semua orang pakai kacamata hitam untuk masuk. Dengan memakai kacamata hitam, itu menunjukkan kalau kita orang yang sedang berguru disini. Lagipula bukankah keren memakai kacamata hitam."
Sarjo merasa jawaban mereka tidak memuaskan, namun akhirnya Sarjo mengambil kacamata hitam yang diberikan penjaga dan memakainya.
"Nah seperti itu, pakai saja. Lain kali tidak perlu banyak tanya."

Awalnya Sarjo merasa risih memakai kacamata hitam itu. Namun lambat laun ia menjadi terbiasa dan bahkan tidak ia pikirkan lagi kalau ia memakai kacamata hitam.

Dengan giat ia menerima ajaran-ajaran dari gurunya, tugas-tugas ia kerjakan. Seperti mengukir batu membuat tulisan dari ajaran-ajaran yang diberikan oleh sang guru. Kemudian jika telah selesai mengukir, batu tersebut dilemparkan ke belakang gedung perguruan. Entah kenapa guru di sini menugaskan hal semacam itu. Padahal telah bertumpuk-tumpuk batu di belakang perguruan itu dan membentuk bukit batu. Hal itu membuat perguruan ini seperti terkurung diantara batu batu, yaitu gunung batu yang berada di depan perguruan dan bukit batu tugas dibelakangnya.

Suatu hari Sarjo merasa jenuh, dan mengajak Parjo untuk beristirahat di kebun ilalang yang ada di samping kanan perguruan. Namun Parjo yang memiliki cita-cita besar itu tidak ingin beristirahat, ia tetap melanjutkan menulis ajaran-ajaran gurunya di batu.

Perguruan di negeri Angan-angan sebenarnya tidak jauh berbeda dengan perguruannya dulu, perguruan di negeri awan. Hanya saja bahasa dan bahan pembicaraan orang-orang disini lebih tinggi. Seperti membahas korupsi yang dilakukan penguasa, kadang membahas penguasa tega mengabaikan penderitaan masyarakat, membahas beberapa oknum yang bertindak sewenang-wenang, kadang juga membahas perubahan masyarakat. Dulu di perguruan negeri awan, paling paling hanya membahas sejarah para orang penting di negeri.

Lama kelamaan Sarjo menyadari, apa yang sebenarnya dilakukan orang-orang di Perguruan Angan-angan ini hanyalah berangan-angan. Kakak angkatannya yang dianggap berhasil, ya karena dapat membuat penemuan berkat pemikiran angan-angannya.

Misalnya saja membuat "dasi berkancing" atau membuat “arloji penjinak anjing". Meskipun masyarakat tidak ada yang membutuhkannya, perguruan di negeri Angan-angan bangga dengan penemuannya. Ya meski mereka sadar bahwa beberapa hasil penemuannya terlalu dibesar-besarkan. Sarjo pun ikut bangga karena angan-angan kakak kelasnya itu.
Kegiatan yang dilakukan oleh murid perguruan di negeri Angan-angan juga mudah ditebak, ada yang nongkrong di warung kopi. Menurut mereka, nongkrong di warung kopi adalah hal penting agar menjadi orang gaul, keren, dan populer. Tetapi Sarjo tidak tertarik untuk nongkrong di warung kopi, mahal. Alhasil Sarjo menjadi tidak populer, namun hal itu tidak masalah untuk Sarjo, karena ia memiliki teman yang masih mau diajaknya bicara, Parjo.

Ada juga yang sibuk membicarakan kesejahteraan murid sekelas. Membuat kegiatan ulang tahun kelas. Sarjo kadang heran, sepenting apa ulang tahun hingga semua orang diwajibkan iuran? Lalu hal lain yang membuat Sarjo heran, mereka membuat acara bakti sosial setahun sekali. Yang kata mereka bertujuan untuk membantu warga miskin alih-alih karena mereka ikut-ikutan kakak kelas yang pernah membuat acara itu. Apakah dengan acara itu masyarakat benar-benar terbantu? Setelah acara itu mereka jadi tidak miskin lagi?

Ada yang sibuk demo, penguasa bikin ini ditolak, penguasa bikin itu ditolak. Kecuali kalau uang entah akan ditolak atau diterima.
Satu lagi kegiatan yang dilakukan, bermesraan di kamar-kamar asrama. Tukang bersih-bersih seringkali menyaksikan hal tabu dilakukan oleh murid di kamar. Suatu ketika Wandoko ketahuan oleh tukang bersih-bersih tengah bersetubuh dengan murid lawan jenisnya. Dengan emas dua keping, Wandoko meminta tukang bersih-bersih untuk menutup mulutnya. Suatu hari Wandoko ketahuan lagi oleh tukang bersih-bersih sedang membawa gadis ke kamarnya. Kemudian tukang bersih-bersih itu meminta keping emas lebih banyak, Namun Wandoko tidak mau memberikannya bahkan satu keping pun. Wandoko kemudian mengunci pintu kamarnya dan mengabaikan tukang bersih-bersih itu. Karena kecewa tidak mendapatkan yang diinginkan, tukang bersih-bersih memanggil warga berbondong-bondong untuk menggrebek kamar asrama. Dan alhasil, banyak yang kena grebek, termasuk Wandoko. Dipergoki sedang bermesraan di atas kasur. Kabar tersiar ke seluruh penjuru negeri bahwa murid dari perguruan negeri Angan-angan melakukan perbuatan yang tidak berpendidikan, bahkan tak bermoral. Masyarakat semakin memandang rendah perguruan di negeri Angan-angan.

Namun berkat kacamata hitam, pandangan murid dan guru di perguruan Angan-angan menjadi tidak jelas. Murid dan guru perguruan di negeri Angan-angan menjadi tidak perlu memandang ke masyarakat. Mereka hanya perlu berangan-angan. Murid dan guru memiliki dunia sendiri yang penuh angan-angan dan seakan terpisah dengan masyarakat. Bahkan perguruan di negeri Angan-angan pun tak merasakan keberadaan dari masyarakat.

***
Setelah 4 tahun berguru di perguruan Angan-angan, tiba saatnya upacara kelulusan. Sarjo dan Parjo telah lulus. mereka diberi ijasah kelulusan oleh guru mereka, kemudian mereka berjalan meninggalkan perguruan. Setelah agak jauh berjalan, sampailah mereka di gerbang keluar. Ternyata gerbang itu masih dijaga oleh dua orang yang dulu. Salah satu penjaga berkata

“Lepaskan kacamata hitam kalian”
“Aku tak memakai kacamata hitam.”
“hahaha, apa kalian lupa? Kalau kalian selalu memakai kacamata hitam?”
“Ohhh iya, baru sadar aku. Baiklah”
Parjo tanpa basa basi langsung melepaskan kacamata hitam dan diperbolehkan keluar gerbang,
Namun Sarjo merasa aneh, ia bertanya kepada penjaga.
“Kenapa kita bisa tidak sadar kalau kita memakai kacamata hitam?”
“Kalian kurang peka pada hal hal di depan mata kalian. Kalian tidak pernah mempertanyakan tentang kacamata hitam yang kalian pakai. Makanya lama kelamaan kalian tidak menyadarinya,”
“Lalu kenapa bapak penjaga tidak lupa mengingatkan kami untuk melepaskan kacamata hitam?”
“Setiap ada orang melewati gerbang kita mengingatkan kacamata, bagaimana kita lupa?”
“Ohh pantas saja.”

Setelah itu Sarjo dan Parjo berjalan untuk pulang, pandangan mereka menjadi sangat jernih dan terang setelah melepas kacamata hitam. Dengan hati bangga mereka mendaki gunung batu untuk kembali ke masyarakat dan mewujudkan cita-citanya. Namun betapa kagetnya mereka ketika di puncak gunung batu. Silaunya matahari membuat mata mereka sakit dan mereka sulit untuk melihat. Pandangannya pun menjadi gelap dan buta.

Banjarnegara, 2017

Ini tulisan saya buat dulu sewaktu ingin mencoba menulis dengan genre satir. Jelek iya namanya juga baru latihan, tapi saya sendiri cukup suka dengan ide yang sewaktu itu terpikirkan. Semoga bisa dinikmati cerpen saya ini yang alakadarnya
Share: