[Cerpen] Bulan

Bulan
By : Iezel Lee
“Jika aku harus memiliki rasa sayang, aku tidak mau disebut penyayang. Dan jika aku menyayangi, maka lebih baik aku lakukan dari jauh.”
Selalu saja lautan tertarik kepada bulan, entah karena bulan yang sinarnya begitu indah, atau hanya karena mereka saling bertatapan di malam hari. Begitu pula seorang nelayan yang tertarik pada lautan, entah karena lautan menyimpan kebahagiaan untuknya atau karena mereka hanya ditakdirkan bersama. Seringkali orang-orang mengartikan bahwa nelayan adalah laki-laki, dan wanita adalah lautan. Namun bagiku, laki-laki lebih pantas disebut bulan. Jika ada lautan yang mencintainya.
Entah apa yang sedang kau lakukan saat ini, untuk sebentar saja bayangkan kalau kau adalah lautan, karena kau wanita. Kau dapat menenggelamkan perasaan apapun, dapat menanggung perasaan apapun, bahkan cinta sekalipun. Dasar hatimu begitu dalam, nelayan harus mati jika ingin mencapainya. Karena itulah aku tak ingin menjadi nelayan, aku ingin menjadi bulan, yang memandangmu dari kejauhan. Meskipun nanti ‘kan kesepian. Kusadari hal ini ketika kita tak bisa bersatu.
***
“tling..tlililing..tling..tlililing”, aku mendengar bunyi sesuatu.
Aku cari-cari asal bunyi tersebut dengan mata masih setengah melek. Nah ketemu! Ternyata bunyi itu berasal dari alarm hape. Dengan agak ngantuk aku berusaha mematikan alarm tersebut. Tapi kok ini beda ya alarmnya, agak susah dimatiin. Aku kucek mataku agar bisa lebih jelas melihat tulisan di layar hape, Kubaca tulisan yang muncul, “Tanggal Jadian Tiga Hari Lagi” ooh ternyata ini pengingat yang kubuat sewaktu dulu. Tahu sendirilah kalau laki-laki kadang lupa dengan tanggal jadian. Lupa di sini maksudnya lupa kalau tanggal jadiannya sudah sebentar lagi atau malah sudah lewat, atau bisa juga maksudnya benar-benar lupa tanggal jadiannya kapan. Ada laki-laki seperti itu? Mungkin.
Meski tubuhku masih tergeletak di kasur. Khayalanku terbang ke dalam kenangan kita selama ini. Sudah hampir satu tahun kau menjadi kekasihku. Bersamamu selama ini membuatku tahu bagaimana kebahagiaan bisa muncul di hati. Sederhana saja, yang pertama kita pejamkan mata, lalu yang kedua kita buka mata bersama-sama. Dengan begitu kita dapat saling menatap, baik saat mata terpejam maupun terbuka. Begitulah bagaimana kebahagiaan muncul.
Tapi aku lebih suka menatapmu ketika membuka mata. Aku merasa tenggelam dalam tatapan matamu. Aku jadi teringat saat itu, saat kita merebahkan badan di rerumputan dekat sungai kecil. Mata kita saling bertemu, seakan sedang menjelaskan sesuatu. Sejak saat itu aku suka sekali menatap matamu. Ahhh sebaiknya aku mandi dan bersiap-siap menemuimu.
***
“Iih, jangan ngeliatin terus, malu.”
“Malu kenapa? ‘Kan kita pake baju?”, jawabku sekenanya.
“Iih sayang, malu, jangan ngeliatin terus”, jawabmu lagi sambil menutupi matamu.
Lalu senyuman kecil terlukis di wajahmu. Di bangku teras rumah kosmu ini kita sering menghabiskan waktu bersama; mengerjakan tugas, menonton film, mengobrol, atau bahkan hanya sekedar diam.
Memanglah benar wanita itu seperti lautan, sedalam apapun aku melihat matamu, tak kulihat juga bagaimana dasarnya. Apakah kau benar-benar malu? Apakah kau menyembunyikan sesuatu? Apakah kau benar-benar mencintaiku? Entahlah. Lagipula untuk apa aku harus tahu?

Hari yang ditunggu-tunggu telah tiba. Aku mengajakmu ke tempat makan favorit kita, Lava D’Cafe. Tempat ini selalu ramai pengunjung, ada yang berpasangan, ada juga yang sendirian. Kemudian kita berjalan masuk ke dalam, beruntung masih ada tempat duduk di pojokan. Kita memesan menu seperti biasa, Rice Bowl Roasted Beef Blackpepper. Semuanya seperti biasa, kita makan seperti biasa. Ngobrol seperti biasa. Kecuali saat setelah selesai makan.
“Kamu seneng kita kesini?”, tanyaku basa-basi.
“Iya seneng sih, tapi ‘kan udah sering yang?”, jawabmu.
“Ya tapi enak tempatnya, makanannya juga. Daripada kita ke tempat lain yang belum pernah, trus malah ga enak gimana?”, jawabku membela diri.
“Iya deh, seneng kok”, lalu terlukis senyuman kecil di wajahmu.
“Merem deh yang”
“Kenapa? Mau macem-macem ya?!”, tanyamu curiga.
“Engga, ya kali orang rame begini!”, jawabku spontan.
“Ohh jadi kalo sepi kamu mau macem-macem?”, kamu makin cerewet.
Akhirnya aku pegang pipimu, dan kukatakan dengan lembut.
“Aku mau ngasih sesuatu buat kamu, di hari yang spesial ini.”
“Ngasih apa ya?!”, jawabmu dengan suara cempreng.
Huh masih nanya aja, kamu emang kadang sulit untuk tidak cerewet.
“Merem dulu makanya.”, kataku.
Akhirnya kamu merem,
“Buka mata yang,”, kataku lagi.
“Wihhh, boneka. hehe. Makasih sayang!”, jawabmu dengan muka berseri-seri.
Aku memberikan sebuah boneka shaun the sheep untukmu karena dua alasan. Pertama karena rambutku seperti shaun the sheep, kedua karena duitku hanya cukup untuk membeli itu. Dan aku berharap alasan yang kedua jangan sampai kau tahu.
“Ini aku juga ada sesuatu buat kamu, merem dulu ya?”, kau memintaku memejamkan mata juga.
“Mana sini langsung kasih aja, kayak anak kecil pake merem segala”, jawabku meledek.
“ihhh curang, tadi aja aku mau merem”
“Lah ‘kan itu salahmu, wlee”
“Yaudah ga jadi tek kasih lah, wlee”
“Ehhh, iya deh aku merem, masa iya ga jadi ngasih. hm”, akhirnya aku menyerah.
“Dah, boleh buka mata sekarang”
Kamu memberikan sepasang sepatu sneakers, cukup bagus sih. Warnanya coklat, modelnya keliatan anak muda. Wah, ini hadiahnya bagus banget. Kayaknya harganya jauh beda kalo dibandingin hadiah dari aku. Namun aku tak peduli lah, yang penting tulus ngasihnya. Lalu aku mencoba sepatu itu.
“Yahhh, kekecilan”
“Yaudah, sini balikin!”
“Jangan, masih muat kok”, langsung kupegang erat-erat sepatu itu dan kumasukkan ke dalam tas.
***
Liburan semester telah tiba, dan ini adalah kedua kalinya aku LDR sama kamu. Yogyakarta-Semarang. Ya meski sebenarnya bisa aja sih ketemu, tapi jauh, pernah aku ke rumahmu 4 jam lama perjalanannya. Sampai pantatku panas, yaudah kali ini kita LDR aja deh.

***
Suatu hari, kau mengetahui aku berhubungan dengan wanita lain,
“Kamu selama liburan sering telponan sama dia?”, tanyamu setelah melihat riwayat panggilan di hapeku.
“iya, dia aku anggep temen.”
“Tapi masih sayang?”, kamu menanyakan perasaanku.
“Engga..”, jawabku. Memang sih aku merasa nyaman berhubungan dengan dia lagi, Tapi bukan karena aku sayang sama dia. Itu karena kamu yang membuatku ragu, jadi aku ingin bersama wanita lain.
“Kalau udah engga sayang, ngapain masih sering telponan?”, kau bertanya lagi.
“Iya aku masih sayang”, aku tahu kau sudah meragukanku, atau itu karena aku yang lebih dulu meragukanmu? Atau kau menyembunyikan sesuatu sehingga aku ragu? Atau kita berdua sebenarnya menyembunyikan sesuatu? Entahlah.
Lalu kau terlihat bersedih, atau marah? Entahlah. Aku bahkan tak bisa mengerti dirimu. Sebenarnya aku tak menyesali perbuatanku, selingkuh ini, atau kusebut saja bunuh diri ini atau mati? Memang hal itu diperlukan nelayan untuk bisa mencapai dasar lautan.
Tiba-tiba dalam sedih, atau marahmu? Kau munculkan nama seseorang yang kukira telah tenggelam.
“Aku udah bela-belain milih kamu, dua tahun aku suka sama Romeo, terus aku lupain dia demi kamu. Eh malah kamu selingkuhin aku!”, katamu.
“Bodo amat! mau dua tahun mau sepuluh tahun. Baru segitu aja pamer!”
Aku tersenyum mendengar jawabanmu.
***

Sejak hari itu aku memutuskan untuk berhenti menjadi nelayan, aku ingin menjadi bulan. Aku tak ingin mati untuk yang kedua kalinya. Jika aku menjadi bulan, aku masih dapat memandangmu dari kejauhan, aku masih dapat menemanimu kala malam. Aku tak perlu tahu bagaimana isi hatimu, aku hanya ingin memberikan cahayaku, dan kau akan tetap menjadi lautan yang dapat memendam segala perasaan.
“Kita udahan aja ya”, kataku.
Lalu kau menangis, kau tak merelakan kita untuk putus, kau terlihat seakan-akan sangat mencintaiku.
“Kok kamu jahat sih, aku lagi sayang-sayangnya sama kamu. Kenapa kamu malah pengen kita udahan?”, tanyamu sambil menangis tersedu-sedu.
“Aku ga pengen pacaran, aku juga udah ga pengen sama kamu. Kamu udah ga menarik”, jawabku dengan agak kasar. Entahlah, yang kuinginkan hanya putus darimu. Bagaimanapun, aku tak ingin jadi nelayan, aku ingin menjadi bulan, yang menyayangimu dari kejauhan.
“Jika aku harus memiliki rasa sayang, aku tidak mau disebut penyayang. Dan jika aku menyayangi, maka lebih baik aku lakukan dari jauh.”
Begitulah kata-kata Zarathustra yang ditulis Nietzsche semakin menguatkanku.
***
Telah satu tahun aku menjadi bulan, kusadari beberapa hal; kesepian, sendirian, dingin,dan gelap, Namun melihatmu berombak-ombak, seakan tertarik olehku membuatku bahagia menjadi bulan. Mungkin begitulah harusnya lautan mencintai bulan. Hingga kemudian dari jauh kulihat kau ‘tlah bersama seseorang.
“Kamu sekarang pacaran sama dia?”, tanyaku.
“Iya, emangnya kenapa?”, jawabmu.
“Kamu cuma akan buang-buang waktu”, jawabku.
“Tergantung sama siapa sih pacarannya!”, jawabmu lagi seakan menyindirku.
Lalu aku tersenyum mendengar jawabanmu.
***
Beberapa bulan berlalu, tiba-tiba terdengar kabar bahwa kau telah putus dengannya.
***Selesai***

Hay pengunjung Iezel.xyz, saya mau beritahu dulu bahwa saya suka sekali cerpen. Karena itulah saya ingin membuat postingan cerpen-cerpen bikinan saya sendiri di blog ini. Ohh iya, kalian jangan asal copas ya, misalkan anda ingin mengcopy cerpen saya sertakan juga penulisnya, ya kalau engga linknya dehh. Okey?

Tiap kali saya selesai membuat cerpen, saya akan menaruhnya di blog ini. so, bagi kamu yang suka cerpen dan ingin terus membaca cerpen bikinan saya, bisa follow blog ini, atau like fanspage facebook iezel untuk mendapatkan updatenya.
Ada juga penawaran jika cerpen anda ingin dimuat disini silakan hubungi saya selaku admin melalui halaman kontak.
Thx for your attention, see you
Iezel
Share: